HAD ZINA
SS IV (4;2)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ
حِطَّانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذُوا عَنِّي خُذُوا
عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ
مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
(مسلم)
قوله صلى الله عليه وسلم :
( خذوا عني خذوا عني فقد جعل الله لهن سبيلا , البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة
والثيب بالثيب جلد مائة والرجم ) أما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فقد جعل الله
لهن سبيلا ) فأشار إلى قوله تعالى : { فأمسكوهن في البيوت حتى يتوفاهن الموت أو
يجعل الله لهن سبيلا } فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا هو ذلك السبيل . %
واختلف العلماء في هذه الآية فقيل : هي محكمة , وهذا الحديث مفسر لها , وقيل :
منسوخة بالآية التي في أول سورة النور , وقيل : إن آية النور في البكرين , وهذه
الآية في الثيبين , وأجمع العلماء على وجوب جلد الزاني البكر مائة , ورجم المحصن
وهو الثيب , ولم يخالف في هذا أحد من أهل القبلة , إلا ما حكى القاضي عياض وغيره
عن الخوارج وبعض المعتزلة , كالنظام وأصحابه , فإنهم لم يقولوا بالرجم . واختلفوا
في جلد الثيب مع الرجم , فقالت طائفة : يجب الجمع بينهما , فيجلد ثم يرجم , وبه
قال علي بن أبي طالب - رضي الله عنه - والحسن البصري وإسحاق بن راهوية وداود وأهل
الظاهر وبعض أصحاب الشافعي , وقال جماهير العلماء : الواجب الرجم وحده , وحكى
القاضي عن طائفة من أهل الحديث أنه يجب الجمع بينهما , إذا كان الزاني شيخا ثيبا ,
فإن كان شابا ثيبا اقتصر على الرجم , وهذا مذهب باطل لا أصل له , وحجة الجمهور أن
النبي صلى الله عليه وسلم اقتصر على رجم الثيب في أحاديث كثيرة منها قصة ( ماعز )
وقصة ( المرأة الغامدية ) , وفي قوله صلى الله عليه وسلم : " واغد يا أنيس
على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها " قالوا : وحديث الجمع بين الجلد والرجم
منسوخ , فإنه كان في أول الأمر . % وأما قوله صلى الله عليه وسلم في البكر ( ونفي
سنة ) ففيه حجة للشافعي والجماهير أنه يجب نفيه سنة رجلا كان أو امرأة , وقال
الحسن : لا يجب النفي وقال مالك والأوزاعي : لا نفي على النساء , وروي مثله عن علي
- رضي الله عنه - , وقالوا : لأنها عورة , وفي نفيها تضييع لها وتعريض لها للفتنة
, ولهذا نهيت عن المسافرة إلا : مع محرم . وحجة الشافعي قوله صلى الله عليه وسلم :
" البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة " . % وأما العبد والأمة ففيهما ثلاثة
أقوال للشافعي : أحدها : يغرب كل واحد منهما سنة لظاهر الحديث , وبهذا قال سفيان الثوري
وأبو ثور وداود وابن جرير . % والثاني : يغرب نصف سنة لقوله تعالى : { فإذا أحصن
فإن أتين بفاحشة فعليهن نصف ما على المحصنات من العذاب } وهذا أصح الأقوال عند
أصحابنا , وهذه الآية مخصصة لعموم الحديث , والصحيح عند الأصوليين جواز تخصيص
السنة بالكتاب ; لأنه إذا جاز تخصيص الكتاب بالكتاب فتخصيص السنة به أولى . %
والثالث : لا يغرب المملوك أصلا , وبه قال الحسن البصري وحماد ومالك وأحمد وإسحاق
; لقوله صلى الله عليه وسلم في الأمة إذا زنت : " فليجلدها " ولم يذكر
النفي , ولأن نفيه يضر سيده , مع أنه لا جناية من سيده , وأجاب أصحاب الشافعي عن
حديث الأمة إذا زنت أنه ليس فيه تعرض للنفي , والآية ظاهرة في وجوب النفي , فوجب
العمل بها , وحمل الحديث على موافقتها . والله أعلم . % وأما قوله صلى الله عليه
وسلم : ( البكر بالبكر والثيب بالثيب ) فليس هو على سبيل الاشتراط , بل حد البكر
الجلد والتغريب , سواء زنى ببكر أم بثيب , وحد الثيب الرجم , سواء زنى بثيب أم
ببكر , فهو شبيه بالتقييد الذي يخرج على الغالب . % واعلم أن المراد بالبكر من
الرجال والنساء من لم يجامع في نكاح صحيح . وهو حر بالغ عاقل , سواء كان جامع بوطء
شبهة أو نكاح فاسد أو غيرهما أم لا , والمراد بالثيب من جامع في دهره مرة من نكاح
صحيح , وهو بالغ عاقل حر , والرجل والمرأة في هذا سواء - والله أعلم - وسواء في كل
هذا المسلم والكافر والرشيد والمحجوز عليه لسفه والله أعلم . % قوله : ( حدثنا عمر
والناقد حدثنا هشيم أخبرنا منصور بهذا الإسناد ) في هذا الكلام فائدتان : إحداهما
: بيان أن الحديث روي من طريق آخر فيزداد قوة . % والثانية أن هشيما مدلس , وقد
قال في الرواية الأولى : وعن منصور وبين في الثانية أنه سمعه من منصور , وقد سبق
التنبيه على مثل هذا مرات . قوله : ( كان النبي الله صلى الله عليه وسلم إذا أنزل
عليه الوحي كرب لذلك وتربد وجهه ) هو بضم الكاف وكسر الراء , وتربد وجهه , أي :
علته غبرة , والربد تغير البياض إلى السواد , وإنما حصل له ذلك لعظم موقع الوحي ,
قال الله تعالى : { إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا} .
Terjemah matan hadits :
Dari Ubadah putera shamit, ra. Ia berkata : Rasulullah
SAW bersabda:” Ambillah dariku! terimalah putusanku! Sungguh Allah telah
menjadikan suatu jalan bagi perempuan – perempuan yang belum kawin dengan pria
yang belum kawin , berzina, masing – masing dihukum jilit seratus kali dan
diasingkan seratus tahun. Perempuan yang sudah kawin dengan pria yang sudah
kawin dihukum jilit seratus kali bagi pria dan dirajam bagi perempuan”. (
Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim).[1]
Pezina ada dua macam Yaitu Pezina muhshan (sudah pernah
menikah) dan ghairu muhshan (masih perjaka atau perawan).
A. Hukuman Zina Bagi Yang Masih Perjaka atau Perawan
Para fuqaha sepakat bahwa perjaka atau perawan yang merdeka yang melakukan
zina, masing – masing dihukum jilid seratus kali. Namun yang menjadi perselisihan
dikalangan mereka ialah, apakah di samping jilid (dera) itu masih harus
diasingkan dari negerinya selama setahun atau tidak?[2]
Pertama: Di samping hukuman cambuk, wajib diasingkan
( dibuang dari negerinya) selama satu tahun. Ini pendapat yang diriwayatkan
dari empat khalifah. Demikian juga pendapat yang dikatakan oleh Atha’, Thawus
ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ishaq dan Abu Tsaur. Ini juga madzab asy- Syafi’i,
ahmad dan Ibnu Hazm. Mereka beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
· Hadits Ubadah bin ash-Shamit, Nabi SAW bersabda:
اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ
جَلْدُ مِا أَةٍ, وَ نَفْيُ سَنَةٍ
(“perjaka yang berzina dengan perawan
(hukumnya) dicambuk seratus kali dan dibuang selama setahun”).
· Dalam hadits abu Hurairah dan Zaid bin Khalid,
Nabi SAW bersabda kepada laki - laki yang anaknya berzina:
أَ
مَّا وَالَّذِ يْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَأَ قْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكَِتَا بِ
اللهِ
(“Demi
dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya.
Sungguh aku akan memutuskan perkara
diantara kalian berdasarkan Kitabullah ...” )
Kemudian anaknya dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Menurut mereka, ini berlaku
umum untuk setiap perjaka ,baik
laki-laki maupun perempuan.
Kedua: Yang laki-laki diasingkan , sedangkan yang
perempuan tidak dibuang. Ini Madzhab Malik dan al-Auza’i. Mereka berdalil dengan
sabda Nabi SAW:
لَايَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْ مِنُ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْاَ خِرِأَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّامَعَ ذِ
مَحْرَ مٍ
(“Tidak dihalalkan bagi wanita
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sejauh perjalan
sehari semalam, kecuali bersama mahramnya’)
Ketiga: Pada dasarnya pengasingan tidak diwajibkan di samping hukuman cambukan,
kecuali dengan ta’zir, bila hakim memandang perlu pengasingan tersebut. Ini
pendapat al-Hasan dan selainya. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW.
إِذَ ازَنَتْ أَمَةُ أَحَدِ كُمْ فَلْيَجْلِدْهَا
(“Apabila budak
perempuan milik seseorang diantara kalian berzina, maka hendaklah ia
mencambuknya”)
Sifat cambukan: Al Qurthubi mengatakan, “ para ulama telah
sepakat bahwa cambukan dengan menggunakan cambuk adalah wajib. Cambuk yang
wajib digunakan untuk menghukum adalah cambuk yang memiliki sifat pertengahan
di antara dua kondisi cambuk , tidak keras dan tidak lunak.” Ia juga menukil
pendapat jumhur ulama, pukulan yang diwajibkan adalah pukulan yang menyakitkan
tapi tidak melukai dan tidak meremukkan tulang. Tidak pula si pemukul
mengeluarkan tangannya dari bawah ketiaknya.
Jadi, laki-laki yang belum menikah (perjaka)
dan perempuan yang belum menikah (perawan) apabila melakukan zina maka wajib
dikenakan hukuman terhadapnya, yaitu dicambuk sebanyak seratus kali cambukan
dan diasingkan selama satu tahun, baik laki-laki maupun perempuan dan wajib
menggunakan cambuk yang bersifat pertengahan diantara dua kondisi cambuk, tidak
keras dan tidak lunak, dengan pukulan yang menyakitkan tapi tidak melukai dan
tidak meremukkan tulang.
B. Hukuman Zina Bagi Yang Sudah Bersuami atau Beristri
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dari generasi sahabat, para
salaf dan para imam yang masyhur, kecuali sebagian dari kalangan khawarij dan
mu’tazilah, bahwa jika orang orang muhshan berzina, maka hukumnya adalah
dirajam hingga mati.
a) Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit ra, ia mengatakan rasulullah SAW
bersabda:
وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
(“laki-laki yang sudah pernah menikah (yang berzina) dengan perempuan yang
sudah pernah menikah (hukumnya) adalah cambuk seratus kali dan dirajam”).
b) Nabi SAW telah merajam Ma’iz, wanita
al-Ghamidiyah, wanita Juhainah, dan dua orang yahudi:
· Dari Jabir bin Samurah ra, ia menuturkan”Aku melihat Ma’iz bin Malik ketika
ia dibawa ke hadapan nabi.Ia seorang laki-laki yang berpostur pendek tapi kekar
tanpa memakai selendang. Ia menyatakan empat kali kesaksian bahwa dirinya telah
berzina, maka Nabi bertanya”Mungkin engkau?” Ia menjawab, Tidak, demi Allah.
Sungguh Ia (yakni dirinya) telah berzina. Maka beliau merajamnya.
· Diriwayatkan dari Imran Bin Hushain, seorang wanita dari Juhainah datang
kepada Nabi SAW dalam keadaan sedang mengandung karena zina, lalu ia berkata,
“Wahai Nabi Allah,aku telah melakukan pelanggaran, maka laksanakanlah hukuman
terhadapku “. Maka Nabi memanggil wali wanita itu, lalu beliau berkata:
“perlakukanlah ia dengan baik. Jika ia telah melahirkan, maka bawalah ia
kepadaku”.
Walinya pun melaksanakan perintah itu. Lalu,
Nabi memerintahkan agar pakaian wanita itu dikencangkan (diikat agar tidak
tersingkap) kemudian beliau memerintahkan untuk dirajam. Setelah itu, beliau
menshalatkan jenazahnya.
· Diriwayatkan dari ibnu Umar , seorang laki-laki dan seorang perempuan
Yahudi yang telah berzina dihadapkan kepada Nabi SAW. Maka Nabi pun pergi
hingga orang-orang Yahudi itu datang , lalu Beliau bertanya: Apa yang kalian
temukan di dalam Taurat tentang hukuman bagi orang yang berzina?”
Mereka menjawab, “Kami menghitamkan (wajah
mereka), menaikkan mereka diatas kendaraan, menyilangkan wajah mereka, dan
mengarak mereka keliling kampung.” Beliau mengatakan: “datangkanlah Taurat,
jika kalian termasuk orang-orang yang benar.”
Lalu mereka mendatangkan Taurat dan
membacakannya. Hingga ketika sampai pada ayat rajam, pemuda yang membacakan itu
meletakkan tangannya pada ayat rajam tersebut, dan membaca yang sebelum dan
yang setelahnya. Melihat hal itu, Abdullah bin Salam yang saat itu bersama Nabi
SAW, berkata kepada Nabi, “suruhlah ia agar mengangkat tangannya”. Ia pun
mengangkat tangannya, ternyata dibawah tangannya itu adalah ayat rajam. Maka,
Nabi memerintahkannya keduanya agar dirajam.” Abdullah bin Umar mengatakan, “
aku termasuk orang yang ikut merajamnya. Sungguh aku melihat laki-laki itu
melindungi wanita pasangan zinanya dari lemparan batu dengan dirinya.
Orang yang sudah pernah bersuami atau
beristri, meski sekarang sudah kembali menduda atau menjanda, apabila berbuat
zina maka hukumanya berbeda dengan yang belum pernah kawin. Dalam istilah fiqih
mereka disebut Muhshan (yang laki-laki) atau Mushanat (yang perempuan) yang
disebutkan dalam hadits diatas hukumanya adalah rajam, yakni dilempar batu yang
sedang sampai mati, apabila pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut:[3]
1. Mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat
2. Merdeka . bila budak laki-laki atau budak perempuan berzina, maka keduanya
bukanlah muhshan
3. Pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan pernikahan yang sah, walaupun
hanya sekali. Maksudnya bahwa pezina itu sudah pernah menikah secara sah dan
mengalami persetubuhan sekalipun belum sempat inzal (mengeluarkan mani), bahkan
persetubuhan itu terjadi ketika sedang haid atau ihram. Yang muhshan itu tidak
mesti pada saat berzina itu masih bersuami atau beristri, asal sebelumnya sudah
pernah kawin dan mengalami persetubuhan, Artinya kalau ada seseorang yang sudah
pernah kawin sah, dan telah terjadi pula persetubuhan dengan istrinya dalam
perkawinan tersebut, kemudian bercerai, lalu berzina dalam keadaan tidak
beristri, maka atasnya dikenakan hukuman rajam. Dan demikian pula perempuan
yang sudah pernah bersuami, kemudian bercerai lalu berzina ketika menjadi
janda, maka dia tetap disebut muhshanat dan dikenai hukuman rajam.
Apakah pelaku dicambuk sebelum dirajam?
Para ulama berbeda pendapat tentang
penggabungan hukuman cambuk dengan rajam dalam tiga pendapat :
Pertama, dicambuk sebelum dirajam. Ini salah satu riwayat dari Ahmad. Ini juga
pendapat Zhahiriah. Alasannya, dalil-dalil berikut ini:
1.
Hadits Ubadah bin Ash-Shamit, Nabi SAW
bersabda:
وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“dan laki-laki yang sudah pernah menikah(yang
berzina) dengan perempuan yang sudah pernah menikah (hukumannya) adalah
dicambuk seratus kali dan dirajam”.
2.
Keputusan Ali bin Abu Thalib pada Syurahah
al- Hamdaniyyah karena “Ali mencambuknya hari kamis sebanyak seratus cambukan
lalu merajamnya hari jum’at” dan Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan
Kitabullah, dan merajamnya berdasarkan sunnah Nabi SAW
Kedua,dirajam saja tanpa dicambuk. Ini adalah madzhab jumhur: Abu Hanifah, Malik,
As- Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad. Mereka berdalil sebagai berikut:
1.
Bahwa mereka yang dirajam oleh Nabi SAW,
seperti Ma’iz, wanita al-Ghamidiyah dan orang Yahudi, tidak ada satu riwayat
pun yang menyebutkan, Beliau mencambuk salah seorang dari mereka, padahal
pelaksanaan hukuman adalah perkara yang sangat dikenal oleh masyarakat.
2.
Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid,
mengenai perintah Nabi (kepada Unais) :
وَالثَّيِِّبُ بِا لثَّيِّبِ جَلْدُ مِا أَةٍ وَالَّر جْمُ
)“Dan,
wahai Unais! Pergilah ke istri laki-laki ini, bila wanita itu mengakui
perbuatannya ,maka rajamlah ia”(.
Unais pun pergi ketempat wanita tersebut,
ternyata wanita itu mengakuinya, maka Unais pun merajamnya.
3.
Keputusan Umar bin Al Khatab. Ia merajam
seorang laki - laki karena berzina dan tidak mencambuknya.
4.
Bahwa hukuman yang lebih kecil masuk kedalam
hukuman yang lebih besar. Karena hukuman yang lebih kecil itu hanyalah untuk
membuat jera pelaku pelanggaran, maka tidak ada lagi gunanya membuatnya jera
dengan di pukul bila akhirnya harus dirajam.
Ketiga, digabungkan antara cambukan dan rajam saat merajam laki-laki dan perempuan
tua yang berzina, bukan pemuda. Demikian pendapat Ubay bin Ka’ab dan Masruq,
berdasarkan ayat yang bacaannya telah dihapus, ‘ laki-laki tua dan perempuan
tua apabila keduanya berzina, maka rajamlah dia”.
Jadi untuk pezina muhshan dan muhshana
hukumannya adalah rajam, yakni dilempar batu yang sedang sampai mati, apabila
pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut :Mukallah, Merdeka dan Sudah pernah
bersetubuh sebelumnya dengan perkawinan yang sah.
Daftar Pustaka
Aladip, Machfuddin. Terjemah Bulughul Maram. Semarang: CV. Toha
Putera.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad.Fiqih Wanita. Terj.Anshori Umar Sitanggal.
Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Salim, Abu Malik Kamal bin as Sayyid.Shahih Fiqih Sunnah – Jilid 5.
Terj. Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Pustaka at- Tazkia.2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar