Senin, 25 Juni 2012

UU DAN PERATURAN TENTANG ANJAK PIUTANG Resuman Ini Bertujuan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah ”Fatwa dan UU Tentang Lembaga Keuangan Syari’ah ” Disusun oleh : Linda alviana (210209006) Nurwahyu Ichvanuddin (210209018) Dosen pengampu : Amin Wahyudi, M.EI Jurusan/Prodi: Syari’ah/Mu’amalah / SM. A SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO Maret 2012 UU dan Peraturan Tentang Anjak Piutang Dalam suatu ketentuan yang dibuat di tahun 1623 oleh Common Council dari kota London disebutkan sebagai berikut:“para pembuat pakaian sendiri dan pembantunya telah menjual dagangannya (pakaian) kepada para pedagang atau pemakainya atas laba penuh yang diterimanya sendiri. Tetapi sekarang pihak lain telah ikut melibatkan diri dalam konteks penjualan tersebut sebagai “factors” dan “brokers” diantara pedagang, pemakai dan pembuat pakaian”.Dengan demikian sejarah factoring di Inggris ini ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Factoring tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya perdagangan tekstil. 2. Pihak factor terdiri dari pada pedagang, dalam hal ini pedagang tekstil, bukan para bankers. Di Indonesia pemukulan gong pembukaannya oleh pemerintah dimulai dengan dikeluarkannya Keppres No. 61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan dan ditinjaklanjuti oleh keputusan Menkeu No. 1251/KMK/ 013/1988, tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Dengan begitu maka mulailah bermunculan perusahaan-perusahaan factor, umumnya melakukan kegiatan bersama-sama dengan kegiatan institusi financial lainnya (multi finance). Anjak piutang atau disebut juga factoring apabila dilihat dari secara leksikal, frasa anjak piutang terbangun dari dua kata yaitu anjak dan piutang yang merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. Para pihak yang terlibat dalam kegiatan factoring adalah: 1. Pihak perusahaan faktor, yakni merupakan pihak pemberi jasa factoring, dan bertindak sebagai pihak pemberi piutang. 2. Pihak klien, merupakan pihak yang mempunyai piutang / tagihan yang akan dijual kepada pihak perusahaan faktor. 3. Pihak customer, merupakan pihak debitur yang berhutang kepada pihak klien, untuk selanjutnya dia akan membayar hutangnya kepada pihak perusahaan faktor. Dasar hukum Dasar hukum yang dipakai dalam kegiatan factoring di Indonesia: 1. Keppres No. 61 tahun 1988, tentang lembaga pembiayaan. 2. Pasal 6 huruf I atas UU Perbankan, UU No. 7 tahun 1992 jo No. 10 tahun 1998. Subjek Subyek hukum dari perjanjian anjak piutang itu tentu saja adalah Penjual, Pembeli dan Perusahaan anjak piutang. Namun penamaan tersebut dirubah disesuaikan dengan hakekat anjak piutang. Objek Obyek hukum dalam perjanjian ini jelas adalah piutang itu sendiri. Baik itu dijual atau dialihkan atau di urus oleh pihak lain. Hubungan Hukum 1. Dalam suatu factoring internasional pihak perusahaan factor yang terlibat terdiri dari dua pihak, yaitu ekspor factor yang berkedudukan di negara pihak pengekspor dan impor factor, yang berada di negara pengimpor. Sehingga keseluruhan pihak yang terlibat menjadi empat pihak yaitu klien, ekspor factor, customer dan impor factor. 2. Dalam factoring chain antar negara apabila perusahaan factor domestik ingin berbisnis secara internasional, maka perusahaan factor domestik haruslah masuk menjadi anggota salah satu factoring chain antar negara, sehingga perusahaan factor tersebut tinggal mengontak perusahaan factor di negara mana customernya berada, yang juga sama-sama bernaung dibawah organisasi yang sama mengenai factoring internasional. Hak dan kewajiban para pihak Yang wajib dipenuhi diantaranya: • Perjanjian yang menyebabkan timbulnya piutang • Permohonan / penawaran jasa factoring oleh / kepada klien • Perjanjian factoring antara klien dengan perusahaan factor • Akta cessie • Pemberitahuan / persetujuan kepada / dari customer • Konfirmasi dari debitur • Dokumen hutang seperti invoices, delivery order, promes. • Dokumen pengiriman • Dokumen jaminan. Beberapa kelebihan atau manfaat dari factoring adalah: 1. Dapat menurunkan biaya produksi 2. Membantu peningkatan sumber kredit 3. Meningkatkan daya saing dari dunia usaha 4. Dengan cepatnya mendapatkan instant cash, maka factoring dapat membantu peningkatan perolehan laba dari dunia usaha 5. Pengambilalihan resiko kerugian dunia usaha jika ternyata tagihan tidak bisa dicairkan 6. Membantu akselerasi proses perputaran roda perekonomian. Beberapa kelemahan dari factoring, yaitu: 1. Pemborosan biaya, banyak terlibatnya pihak lain 2. Menurunkan reputasi 3. Bisnis rentan resiko 4. Kurang profesional Pengertian: 1. Menteri adalah Menteri Keuangan; 2. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat; 3. Bank adalah Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan; 4. Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan; 5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan; 6. Perusahaan Anjak piutang (Factoring Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri; 7. Penjual Piutang (Klien) adalah perusahaan yang menjual dan atau mengalihkan piutang atau tagihannya yang timbul dari transaksi perdagangan kepada Perusahaan Anjak Piutang; 8. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya. 9. Izin usaha adalah izin untuk melakukan kegiatan usaha dibidang pembiayaan yang ditetapkan oleh Menteri. Bidang usaha dan Pendirian lembaga pembiayaan Lembaga pembiayaan melakukan kegiatan dalam bidang usaha Anjak Piutang dengan ketentuan persyaratan dan tata cara pendirian perusahaan serta kegiatan diatur lebih lanjut oleh Menteri. Kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh : a. Bank; b. Lembaga Keuangan Bukan Bank; c. Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Saham Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh : a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan). Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing ditentukan sebesar-besarnya 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor Perusahaan dapat melakukan satu atau lebih kegiatan Usaha Lembaga Pembiayaan dengan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan diatur oleh Menteri. Perusahaan Pembiayaan wajib secara jelas mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukannya. Pembatasan Perusahaan Pembiayaan dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk: a. Giro; b. Deposito; c. Tabungan; d. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note). Perusahaan pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar hanya sebagai jaminan atas hutang kepada Bank yang menjadi krediturnya. Pengawasan Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas usaha Perusahaan Pembiayaan. Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri atau telah melaksanakan kegiatan usaha pembiayaan tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan mengadakan penyesuaian terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Kegiatan Anjak Piutang dilakukan dalam bentuk : a. pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri; b. penata usahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan klien. Perizinan Untuk melakukan usaha lembaga pembiayaan, Perusahaan wajib memperoleh Izin Usaha dari Menteri. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang menjalankan usaha di bidang Anjak Piutang, wajib melaporkan usahanya kepada Menteri. Jumlah modal yang disetor Jumlah Modal disetor atau Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan Anjak Piutang ditetapkan sebagai berikut : a. Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah); b. Perusahaan Patungan Indonesia dan Asing sekurang-kurangnya sebesar Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah); c. Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan lebih dari satu kegiatan pembiayaan, jumlah Modal Disetor atau Simpanan Pokok dan Simpanan wajib ditetapkan sebagai berikut : a. Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar Rp. 5.000.0000.000,- (lima milyar rupiah); b. Perusahaan Patungan Indonesia dan Asing sekurang-kurangnya sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah); c. Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Perizinan (1) Untuk memperoleh Izin Usaha permohonan diajukan kepada Menteri dengann melampirkan : a. Akte Pendirian Perusahaan Pembiayaan yang telah disyahkan menurutt ketentuan perundang-undangan yang berlaku; b. Bukti pelunasan modal disetor untuk Perseroan Terbatas atauu Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib untuk Koperasi, pada salah satu bank di Indonesia; c. Contoh Perjanjian Pembiayaan yang akan digunakan; d. Daftar susunan pengurus Perusahaan Pembiayaan; e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan; f. Neraca Pembukaan Perusahaan Pembiayaan; g. Perjanjian Usaha Patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan Pembiayaan Patungan yang didalamnya tercermin arah Indonesianisasi dalam pemilikan saham. Pemberian Izin Usaha diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap; Izin Usaha berlaku sejak tanggal ditetapkan oleh Menteri dan berlaku selama perusahaan masih menjalankan usahanya; Dalam hal permohonan diterima tidak secara lengkap, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja diberikan Surat Pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa permohonan tidak lengkap. Terhadap pemberian Izin Usaha tidak dikenakan biaya. (1) Setiap Perusahaan Pembiayaan, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang melakukan usaha di bidang pembiayaan wajib menyampaikan laporan operasional dan laporan keuangan secara tahunan kepada Menteri; disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun buku perusahaan berakhir; (3) Laporan Keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik disampaikan selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah tahun buku perusahaan berakhir; (4) Neraca serta Ikhtisar Perhitungan Laba/Rugi Singkat wajib diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar harian selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun buku perusahaan berakhir. Sanksi (1) Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank serta Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan yang bertentangan dengan ketentuan dalam Keputusan ini dihentikan kegiatannya atau dicabut Izin Usahanya. (2) Penghentian kegiatan atau pencabutan Izin Usaha dilakukan setelah : a. diberikan peringatan secara tertulis kepada yang bersangkutan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan; b. dilakukan pembekuan kegiatan atau Izin Usaha untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peringatan terakhir. Apabila sebelum berakhirnya masa pembekuan telah dilakukan perbaikan, maka kegiatan atau Izin Usaha diberlakukan kembali; apabila tidak juga dilakukan perbaikan, maka kegiatan dihentikan atau izin usaha dicabut Sumber: SKB No. Kep-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/KPB/I/1974 Keppres No. 61 thn 1988 KMK No. 1251/KMK/013/1988.

Jumat, 22 Juni 2012

hudud (had zina)



HAD ZINA
oleh : 
linda alviana
SS IV (4;2)
 


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ حِطَّانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ (مسلم)

قوله صلى الله عليه وسلم : ( خذوا عني خذوا عني فقد جعل الله لهن سبيلا , البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة والثيب بالثيب جلد مائة والرجم ) أما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فقد جعل الله لهن سبيلا ) فأشار إلى قوله تعالى : { فأمسكوهن في البيوت حتى يتوفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيلا } فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن هذا هو ذلك السبيل . % واختلف العلماء في هذه الآية فقيل : هي محكمة , وهذا الحديث مفسر لها , وقيل : منسوخة بالآية التي في أول سورة النور , وقيل : إن آية النور في البكرين , وهذه الآية في الثيبين , وأجمع العلماء على وجوب جلد الزاني البكر مائة , ورجم المحصن وهو الثيب , ولم يخالف في هذا أحد من أهل القبلة , إلا ما حكى القاضي عياض وغيره عن الخوارج وبعض المعتزلة , كالنظام وأصحابه , فإنهم لم يقولوا بالرجم . واختلفوا في جلد الثيب مع الرجم , فقالت طائفة : يجب الجمع بينهما , فيجلد ثم يرجم , وبه قال علي بن أبي طالب - رضي الله عنه - والحسن البصري وإسحاق بن راهوية وداود وأهل الظاهر وبعض أصحاب الشافعي , وقال جماهير العلماء : الواجب الرجم وحده , وحكى القاضي عن طائفة من أهل الحديث أنه يجب الجمع بينهما , إذا كان الزاني شيخا ثيبا , فإن كان شابا ثيبا اقتصر على الرجم , وهذا مذهب باطل لا أصل له , وحجة الجمهور أن النبي صلى الله عليه وسلم اقتصر على رجم الثيب في أحاديث كثيرة منها قصة ( ماعز ) وقصة ( المرأة الغامدية ) , وفي قوله صلى الله عليه وسلم : " واغد يا أنيس على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها " قالوا : وحديث الجمع بين الجلد والرجم منسوخ , فإنه كان في أول الأمر . % وأما قوله صلى الله عليه وسلم في البكر ( ونفي سنة ) ففيه حجة للشافعي والجماهير أنه يجب نفيه سنة رجلا كان أو امرأة , وقال الحسن : لا يجب النفي وقال مالك والأوزاعي : لا نفي على النساء , وروي مثله عن علي - رضي الله عنه - , وقالوا : لأنها عورة , وفي نفيها تضييع لها وتعريض لها للفتنة , ولهذا نهيت عن المسافرة إلا : مع محرم . وحجة الشافعي قوله صلى الله عليه وسلم : " البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة " . % وأما العبد والأمة ففيهما ثلاثة أقوال للشافعي : أحدها : يغرب كل واحد منهما سنة لظاهر الحديث , وبهذا قال سفيان الثوري وأبو ثور وداود وابن جرير . % والثاني : يغرب نصف سنة لقوله تعالى : { فإذا أحصن فإن أتين بفاحشة فعليهن نصف ما على المحصنات من العذاب } وهذا أصح الأقوال عند أصحابنا , وهذه الآية مخصصة لعموم الحديث , والصحيح عند الأصوليين جواز تخصيص السنة بالكتاب ; لأنه إذا جاز تخصيص الكتاب بالكتاب فتخصيص السنة به أولى . % والثالث : لا يغرب المملوك أصلا , وبه قال الحسن البصري وحماد ومالك وأحمد وإسحاق ; لقوله صلى الله عليه وسلم في الأمة إذا زنت : " فليجلدها " ولم يذكر النفي , ولأن نفيه يضر سيده , مع أنه لا جناية من سيده , وأجاب أصحاب الشافعي عن حديث الأمة إذا زنت أنه ليس فيه تعرض للنفي , والآية ظاهرة في وجوب النفي , فوجب العمل بها , وحمل الحديث على موافقتها . والله أعلم . % وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( البكر بالبكر والثيب بالثيب ) فليس هو على سبيل الاشتراط , بل حد البكر الجلد والتغريب , سواء زنى ببكر أم بثيب , وحد الثيب الرجم , سواء زنى بثيب أم ببكر , فهو شبيه بالتقييد الذي يخرج على الغالب . % واعلم أن المراد بالبكر من الرجال والنساء من لم يجامع في نكاح صحيح . وهو حر بالغ عاقل , سواء كان جامع بوطء شبهة أو نكاح فاسد أو غيرهما أم لا , والمراد بالثيب من جامع في دهره مرة من نكاح صحيح , وهو بالغ عاقل حر , والرجل والمرأة في هذا سواء - والله أعلم - وسواء في كل هذا المسلم والكافر والرشيد والمحجوز عليه لسفه والله أعلم . % قوله : ( حدثنا عمر والناقد حدثنا هشيم أخبرنا منصور بهذا الإسناد ) في هذا الكلام فائدتان : إحداهما : بيان أن الحديث روي من طريق آخر فيزداد قوة . % والثانية أن هشيما مدلس , وقد قال في الرواية الأولى : وعن منصور وبين في الثانية أنه سمعه من منصور , وقد سبق التنبيه على مثل هذا مرات . قوله : ( كان النبي الله صلى الله عليه وسلم إذا أنزل عليه الوحي كرب لذلك وتربد وجهه ) هو بضم الكاف وكسر الراء , وتربد وجهه , أي : علته غبرة , والربد تغير البياض إلى السواد , وإنما حصل له ذلك لعظم موقع الوحي , قال الله تعالى : { إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا} .


Terjemah matan hadits :
Dari Ubadah putera shamit, ra. Ia berkata : Rasulullah SAW bersabda:” Ambillah dariku! terimalah putusanku! Sungguh Allah telah menjadikan suatu jalan bagi perempuan – perempuan yang belum kawin dengan pria yang belum kawin , berzina, masing – masing dihukum jilit seratus kali dan diasingkan seratus tahun. Perempuan yang sudah kawin dengan pria yang sudah kawin dihukum jilit seratus kali bagi pria dan dirajam bagi perempuan”. ( Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim).[1]
Pezina ada dua macam Yaitu Pezina muhshan (sudah pernah menikah) dan ghairu muhshan (masih perjaka atau perawan).
A.  Hukuman Zina Bagi Yang Masih Perjaka atau Perawan
Para fuqaha sepakat bahwa perjaka atau perawan yang merdeka yang melakukan zina, masing – masing dihukum jilid seratus kali. Namun yang menjadi perselisihan dikalangan mereka ialah, apakah di samping jilid (dera) itu masih harus diasingkan dari negerinya selama setahun atau tidak?[2]
Pertama: Di samping hukuman cambuk, wajib diasingkan ( dibuang dari negerinya) selama satu tahun. Ini pendapat yang diriwayatkan dari empat khalifah. Demikian juga pendapat yang dikatakan oleh Atha’, Thawus ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ishaq dan Abu Tsaur. Ini juga madzab asy- Syafi’i, ahmad dan Ibnu Hazm. Mereka beragumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
·      Hadits Ubadah bin ash-Shamit, Nabi SAW bersabda:

اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِا أَةٍ, وَ نَفْيُ سَنَةٍ
(“perjaka yang berzina dengan perawan (hukumnya) dicambuk seratus kali dan dibuang selama setahun”).
·      Dalam hadits abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, Nabi SAW bersabda kepada laki - laki yang anaknya berzina:


أَ مَّا وَالَّذِ يْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَأَ قْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكَِتَا بِ اللهِ
(“Demi dzat  yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Sungguh aku akan memutuskan  perkara diantara kalian berdasarkan Kitabullah ...” )
Kemudian anaknya dicambuk seratus kali dan diasingkan  selama setahun. Menurut mereka, ini berlaku umum untuk  setiap perjaka ,baik laki-laki maupun perempuan.
Kedua: Yang laki-laki diasingkan , sedangkan yang perempuan tidak dibuang. Ini Madzhab Malik dan al-Auza’i. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW:

لَايَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْ مِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَ خِرِأَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّامَعَ ذِ مَحْرَ مٍ
(“Tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sejauh perjalan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya’)
Ketiga: Pada dasarnya pengasingan tidak diwajibkan di samping hukuman cambukan, kecuali dengan ta’zir, bila hakim memandang perlu pengasingan tersebut. Ini pendapat al-Hasan dan selainya. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW.
إِذَ ازَنَتْ أَمَةُ أَحَدِ كُمْ فَلْيَجْلِدْهَا
(“Apabila budak perempuan milik seseorang diantara kalian berzina, maka hendaklah ia mencambuknya”)
Sifat cambukan:  Al Qurthubi mengatakan, “ para ulama telah sepakat bahwa cambukan dengan menggunakan cambuk adalah wajib. Cambuk yang wajib digunakan untuk menghukum adalah cambuk yang memiliki sifat pertengahan di antara dua kondisi cambuk , tidak keras dan tidak lunak.” Ia juga menukil pendapat jumhur ulama, pukulan yang diwajibkan adalah pukulan yang menyakitkan tapi tidak melukai dan tidak meremukkan tulang. Tidak pula si pemukul mengeluarkan tangannya dari bawah ketiaknya.   
Jadi, laki-laki yang belum menikah (perjaka) dan perempuan yang belum menikah (perawan) apabila melakukan zina maka wajib dikenakan hukuman terhadapnya, yaitu dicambuk sebanyak seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun, baik laki-laki maupun perempuan dan wajib menggunakan cambuk yang bersifat pertengahan diantara dua kondisi cambuk, tidak keras dan tidak lunak, dengan pukulan yang menyakitkan tapi tidak melukai dan tidak meremukkan tulang.

B.  Hukuman Zina Bagi Yang Sudah Bersuami atau Beristri
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dari generasi sahabat, para salaf dan para imam yang masyhur, kecuali sebagian dari kalangan khawarij dan mu’tazilah, bahwa jika orang orang muhshan berzina, maka hukumnya adalah dirajam hingga mati.
a)    Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit ra, ia mengatakan rasulullah SAW bersabda:
وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
(“laki-laki yang sudah pernah menikah (yang berzina) dengan perempuan yang sudah pernah menikah (hukumnya) adalah cambuk seratus kali dan dirajam”).
b)    Nabi SAW telah merajam Ma’iz, wanita al-Ghamidiyah, wanita Juhainah, dan dua orang yahudi:
·      Dari Jabir bin Samurah ra, ia menuturkan”Aku melihat Ma’iz bin Malik ketika ia dibawa ke hadapan nabi.Ia seorang laki-laki yang berpostur pendek tapi kekar tanpa memakai selendang. Ia menyatakan empat kali kesaksian bahwa dirinya telah berzina, maka Nabi bertanya”Mungkin engkau?” Ia menjawab, Tidak, demi Allah. Sungguh Ia (yakni dirinya) telah berzina. Maka beliau merajamnya.
·      Diriwayatkan dari Imran Bin Hushain, seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dalam keadaan sedang mengandung karena zina, lalu ia berkata, “Wahai Nabi Allah,aku telah melakukan pelanggaran, maka laksanakanlah hukuman terhadapku “. Maka Nabi memanggil wali wanita itu, lalu beliau berkata: “perlakukanlah ia dengan baik. Jika ia telah melahirkan, maka bawalah ia kepadaku”.
Walinya pun melaksanakan perintah itu. Lalu, Nabi memerintahkan agar pakaian wanita itu dikencangkan (diikat agar tidak tersingkap) kemudian beliau memerintahkan untuk dirajam. Setelah itu, beliau menshalatkan jenazahnya.
·      Diriwayatkan dari ibnu Umar , seorang laki-laki dan seorang perempuan Yahudi yang telah berzina dihadapkan kepada Nabi SAW. Maka Nabi pun pergi hingga orang-orang Yahudi itu datang , lalu Beliau bertanya: Apa yang kalian temukan di dalam Taurat tentang hukuman bagi orang yang berzina?”
Mereka menjawab, “Kami menghitamkan (wajah mereka), menaikkan mereka diatas kendaraan, menyilangkan wajah mereka, dan mengarak mereka keliling kampung.” Beliau mengatakan: “datangkanlah Taurat, jika kalian termasuk orang-orang yang benar.”
Lalu mereka mendatangkan Taurat dan membacakannya. Hingga ketika sampai pada ayat rajam, pemuda yang membacakan itu meletakkan tangannya pada ayat rajam tersebut, dan membaca yang sebelum dan yang setelahnya. Melihat hal itu, Abdullah bin Salam yang saat itu bersama Nabi SAW, berkata kepada Nabi, “suruhlah ia agar mengangkat tangannya”. Ia pun mengangkat tangannya, ternyata dibawah tangannya itu adalah ayat rajam. Maka, Nabi memerintahkannya keduanya agar dirajam.” Abdullah bin Umar mengatakan, “ aku termasuk orang yang ikut merajamnya. Sungguh aku melihat laki-laki itu melindungi wanita pasangan zinanya dari lemparan batu dengan dirinya.
Orang yang sudah pernah bersuami atau beristri, meski sekarang sudah kembali menduda atau menjanda, apabila berbuat zina maka hukumanya berbeda dengan yang belum pernah kawin. Dalam istilah fiqih mereka disebut Muhshan (yang laki-laki) atau Mushanat (yang perempuan) yang disebutkan dalam hadits diatas hukumanya adalah rajam, yakni dilempar batu yang sedang sampai mati, apabila pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut:[3]
1.    Mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat
2.    Merdeka . bila budak laki-laki atau budak perempuan berzina, maka keduanya bukanlah muhshan
3.    Pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan pernikahan yang sah, walaupun hanya sekali. Maksudnya bahwa pezina itu sudah pernah menikah secara sah dan mengalami persetubuhan sekalipun belum sempat inzal (mengeluarkan mani), bahkan persetubuhan itu terjadi ketika sedang haid atau ihram. Yang muhshan itu tidak mesti pada saat berzina itu masih bersuami atau beristri, asal sebelumnya sudah pernah kawin dan mengalami persetubuhan, Artinya kalau ada seseorang yang sudah pernah kawin sah, dan telah terjadi pula persetubuhan dengan istrinya dalam perkawinan tersebut, kemudian bercerai, lalu berzina dalam keadaan tidak beristri, maka atasnya dikenakan hukuman rajam. Dan demikian pula perempuan yang sudah pernah bersuami, kemudian bercerai lalu berzina ketika menjadi janda, maka dia tetap disebut muhshanat dan dikenai hukuman rajam.
Apakah pelaku dicambuk  sebelum dirajam?
Para ulama berbeda pendapat tentang penggabungan hukuman cambuk dengan rajam dalam tiga pendapat :

Pertama, dicambuk sebelum dirajam. Ini salah satu riwayat dari Ahmad. Ini juga pendapat Zhahiriah. Alasannya, dalil-dalil berikut ini:
1.      Hadits Ubadah bin Ash-Shamit, Nabi SAW bersabda:
وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“dan laki-laki yang sudah pernah menikah(yang berzina) dengan perempuan yang sudah pernah menikah (hukumannya) adalah dicambuk seratus kali dan dirajam”.
2.      Keputusan Ali bin Abu Thalib pada Syurahah al- Hamdaniyyah karena “Ali mencambuknya hari kamis sebanyak seratus cambukan lalu merajamnya hari jum’at” dan Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan Kitabullah, dan merajamnya berdasarkan sunnah Nabi SAW

Kedua,dirajam saja tanpa dicambuk. Ini adalah madzhab jumhur: Abu Hanifah, Malik, As- Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad. Mereka berdalil sebagai berikut:
1.        Bahwa mereka yang dirajam oleh Nabi SAW, seperti Ma’iz, wanita al-Ghamidiyah dan orang Yahudi, tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan, Beliau mencambuk salah seorang dari mereka, padahal pelaksanaan hukuman adalah perkara yang sangat dikenal oleh masyarakat.
2.        Hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, mengenai perintah Nabi (kepada Unais) :
وَالثَّيِِّبُ بِا لثَّيِّبِ جَلْدُ مِا أَةٍ وَالَّر جْمُ
)“Dan, wahai Unais! Pergilah ke istri laki-laki ini, bila wanita itu mengakui perbuatannya ,maka rajamlah ia”(.
Unais pun pergi ketempat wanita tersebut, ternyata wanita itu mengakuinya, maka Unais pun merajamnya.
3.        Keputusan Umar bin Al Khatab. Ia merajam seorang laki - laki karena berzina dan tidak mencambuknya.
4.        Bahwa hukuman yang lebih kecil masuk kedalam hukuman yang lebih besar. Karena hukuman yang lebih kecil itu hanyalah untuk membuat jera pelaku pelanggaran, maka tidak ada lagi gunanya membuatnya jera dengan di pukul bila akhirnya harus dirajam.
Ketiga, digabungkan antara cambukan dan rajam saat merajam laki-laki dan perempuan tua yang berzina, bukan pemuda. Demikian pendapat Ubay bin Ka’ab dan Masruq, berdasarkan ayat yang bacaannya telah dihapus, ‘ laki-laki tua dan perempuan tua apabila keduanya berzina, maka rajamlah dia”.

Jadi untuk pezina muhshan dan muhshana hukumannya adalah rajam, yakni dilempar batu yang sedang sampai mati, apabila pezina itu memenuhi syarat sebagai berikut :Mukallah, Merdeka dan Sudah pernah bersetubuh sebelumnya dengan perkawinan yang sah.




Daftar Pustaka
Aladip, Machfuddin. Terjemah Bulughul Maram. Semarang: CV. Toha Putera.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad.Fiqih Wanita. Terj.Anshori Umar Sitanggal. Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Salim, Abu Malik Kamal bin as Sayyid.Shahih Fiqih Sunnah – Jilid 5. Terj. Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Pustaka at- Tazkia.2008.


[1] Moh. Machfuddin Aladip,Terjemah Bulughul Maram (Semarang: CV. Toha Putera)625.
[2] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Shahih Fiqih Sunnah-jilid 5, Terj. Amir Hamzah Fachrudin (Jakarta: Purtaka at-Tazkia, 2008),  57-59.
[3] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, Terj. Anshori Umar Sitanggal (Semarang:CV. Asy – Syifa’), 474-475

tanggung jawab sosial


TANGGUNG JAWAB SOSIAL
oleh :
linda alviana


Tanggung Jawab Sosial

Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa menunaikan hak-hak yang dianjurkan dalam Al-qur’an itu mengandung unsur kebersamaan antar sesama muslim. Jika mereka melaksanakan kewajiban ini, dapat dipastikan kaum muslimin adalah orang-orang yang mempunyai taraf kehidupan yang paling baik, pengaruhnya pun  akan sangat menakjubkan, kebanyakan orang secara berbondong-bondong akan memasuki islam, karena islam  juga menganjurkan kebersamaan dan tolong-menolong. Si kaya menolong si miskin, dan di dalam harta orang kaya terdapat hak yang harus ditunaikan untuk kaum miskin. Dengan demikian , hubungan antara segenap masyarakat akan semakin akrab dan jurang pemisah keadaan sosial pun akan tertutup
Bagi islam, untuk memperbaiki masyarakat dan meratakan keadilan sosial, hendaklah diperbaiki terlebih  dahulu dasar sendi pertama sosial (masyarakat), yaitu jiwa seseorang, di tanamkan terlebih dahulu di jiwa seseorang dengan rasa iman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu mengakibatkan rasa kasih sayang dan dermawan. Kesadaran pribadi setiap orang dalam hubungannya dengan Allah, manusia, alam sekitar dan kedudukan dirinya di tengah semua itu, disanalah sumber keadilan sosial.

Kepedulian Sosial Sebagai Perwujudan Kesalehan Sosial
A.    Al Dzariyat : 19
þÎûuröNÎgÏ9ºuqøBr&A,ymÈ@ͬ!$¡¡=Ïj9ÏQrãóspRùQ$#urÇÊÒÈ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian”

Tafsir al-Mufradat

,ym
Bagian yang banyak yang mereka wajibkan bagi mereka sendiri untuk menyerahkannya sebagai pendekatan kepada Allah SWT dan belas kasih terhadap hamba-hamba-Nya
·         Menurut Muhammad Ibnu Sirin dan Qatadah, hak itu adalah Zakat
·         Menurut Ibnu Abbas, hak adalah pemberian selain zakat dengan alasan Surat Ad Dzariyat itu Surat Makkiyah sedangkan zakat diwajibkan di Madinah
·         Menurut Ibnu ‘Arabi, hak itu adalah zakat berdasarkan surat Al Ma’arij.

@ͬ!$¡¡=Ïj9
Orang yang meminta pemberian dan derma
QrãóspRùQ$#
Orang yang menahan diri, yang oleh orang yang tidak mengerti disangka orang kaya, sehingga tidak memperoleh sedekah, seperti kebanyakan orang.[1]

           
Asbab al-Nuzul
Imam Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Al-Hasan Ibnu Muhammad Al-Hanafiyah, bahwa Rasulullah SAW mengutus pasukan sariyahnya. Lalu pasukan itu dapat mengalahkan musuh-musuhnya dan memperoleh ganimah. Sesudah itu, yaitu sesudah mereka menyelesaikan tugasnya datanglah suatu kaum. Lalu turunlah ayat ini.[2]


Kandungan Hukum
Salah satu sifat orang-orang yang bertaqwa adalah menunaikan zakat dan berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir.
Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawih mengelurkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw, bersabda: “orang miskin itu bukanlah orang yang dicegah oleh sebiji kurma atau dua biji, dan sesuap atau dua suap makanan.” Seseorang bertanya, “Jadi siapakah orang miskin itu?” Sabda Rasul, “Orang yang tidak mempunyai sesuatu yang membuatnya tidak berhajat dan tidak diketahui tempatnya hingga tidak memperoleh sedekah. Orang seperti itulah orang yang mahrum (tidak kebagian).”[3]
     Mereka menetapkan bagian tertentu bagi peminta-minta, lalu diberi. Juga bagian tertentu bagi siapa yang diam dan malu, sebagai hak yang wajib dibayarkan  dari hartanya. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kalbu dari jeratan kebakhilan, beban kekikiran, dan kendala kesibukan mencari rizeki.[4]
     Ada orang yang berani meminta, karena memandang bahwa dia berhak menerima zakat itu, tetapi ada pula orang yang tidak mau meminta dan tidak suka berbuat seperti itu supaya diberi sedekah sehingga yang hendak mengeluarkan zakat itu tidak tahu bahwa dia mustahik, dia menjaga harga dirinya walaupun dia miskin. Orang seperti ini harus diperhatikan sangat oleh orang yang telah wajib mengeluarkan zakat, bahkan merekalah yang lebih berhak menerima karena sifat “iffah”, yaitu kesanggupan menahan sengsara karena menjaga harga diri.[5]



B.     Al-Baqarah:177 dan Al-Baqarah:195
Al-baqarah: 177
*}§øŠ©9§ŽÉ9ø9$#br&(#q9uqè?öNä3ydqã_ãrŸ@t6Ï%É-ÎŽô³yJø9$#É>̍øóyJø9$#ur£`Å3»s9ur§ŽÉ9ø9$#ô`tBz`tB#uä«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#urÉ=»tGÅ3ø9$#urz`¿ÍhÎ;¨Z9$#urtA#uäurtA$yJø9$#4n?tã¾ÏmÎm6ãmÍrsŒ4n1öà)ø9$#4yJ»tGuŠø9$#urtûüÅ3»|¡yJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#tû,Î#ͬ!$¡¡9$#urÎûurÅU$s%Ìh9$#uQ$s%r&urno4qn=¢Á9$#tA#uäurno4qŸ2¨9$#šcqèùqßJø9$#uröNÏdÏôgyèÎ/#sŒÎ)(#rßyg»tã(tûïÎŽÉ9»¢Á9$#urÎûÏä!$yù't7ø9$#Ïä!#§ŽœØ9$#urtûüÏnurĨù't7ø9$#3y7Í´¯»s9'ré&tûïÏ%©!$#(#qè%y|¹(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqà)­GßJø9$#ÇÊÐÐÈ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
( yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.

Tafsir al-Mufradat
§ŽÉ9ø9$#
Secara bahasa berarti memperbanyak kebaikan. Asal katanya adalah al-barr (daratan), dan lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut istilah syari’at adalah setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah, yakni iman, amal saleh dan akhlak mulia
ŸtA#uäurA$yJø9$#
Memberihartabenda
ûüÅ3»|¡yJø9$#
tetap diam, sebab kebutuhan telah menjeratnya. Akan halnyaorang yang invalid, persoalannya lain karena yang menghalangi usahanya adalah cacat

ûøó$#@Î6¡¡9$#
orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh. Sehingga ia tidak bisa menghubungi kerabatnya untuk minta bekal, lantaran jarak yang memisahkannya.

#ͬ!$¡¡9$#
Orang yang meminta-minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup. Pekerjaan ini menurut syari’at islam diharamkan kecuali karena dalam keadaan darurat, dan tidak ada pilihan lain kecuali meminta-minta.

#ͬ!$¡¡9$#: ÅU$s%Ìh9$#
membebaskan budak (hamba sahaya)
o4qn=¢Á9$#Q$s%r&
Mendirikan sholat sebaik mungkin atau seperti yang diperintahkan Allah SWT

#rßyg»tã
Janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh seseorang terhadap orang lain
ä!$yù't7ø9$#
Diambil dari asal kata (Al-Bu’su), artinya fakir atau sangat miskin

ä!$yù't7ø9$#: ä!#§ŽœØ9$#:
Setiap sesuatu yang membahayakan manusia ( penyakit)
#qè%y|¹
Benar-benar mengaku beriman

#qè%y|¹: ybqà)­GßJø9$#:
Mencegah agar jangan sampai Allah murka kepadanya dengan cara menjauhi perbuatan dosa dan larangan-larangan-Nya.[6]