Minggu, 08 April 2012

khiyar,salam dan kredit


KHIYAR, SALAM DAN KREDIT
oleh : Linda Alviana

1.      KHIYAR
A.    Pengertian
Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.
Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya : hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya.
Khiyar menurut ulama’ fiqih adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.[1]
B.     Macam-macam Khiyar
1.      Khiyar Syarat
Yaitu kedua orang yang sedang melakukan jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama.
Rasulullah Saw bersabda, “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang dibeli selama 3 hari 3 malam”. (HR Ibnu Majah, Al-Hakam, Baihaqi)

Menurut Ulama Fiqih adalah Suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.[2]
Misalnya, seorang pembeli berkata,”Saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari.” Khiyar disyariatkan untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad.
2.      Khiyar Majlis
Menurut ulama’ fiqih adalah Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada ditempat akad dan  kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.
Pandangan Ulama’ tentang khiyar Majlis
a.      Ulama’ Hanafiah dan Malikiyah
     Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati janji sedangkan khiyar menghilangkan keharusan tersebut. Maksud dari berpisah adalah berpisah dari segi ucapan bukan badan, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya sebelum dijawab qabul, sedangkan bagi yang lainnya(penerima) boleh memilih apakah ia akan menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya.[3]  
b.      Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
     Golongan ini berpendapat bahwa jka pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada ditempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. Batasan dari kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam bermuamalah.
Rasulullah Saw bersabda, “Penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Khiyar ‘Aib (cacat)
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad & Abu Dawud)
Menurut Ulama’ fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikan ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.[4]
Penyebab khiyar “aib adalah adanya cacat dan barang yang diperjual belikan atau harga kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud dan yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
Tujuan khiyar adalah agar jual beli tersebut tidak merugikan salah satu pihak.

2.      SALAM
A.    Pengertian Salam
     Jual beli pesanan (indent) dalam fiqih islam disebut As-Salam bahasa penduduk Hijaz atau As-Salaf  bahasa penduduk Irak secara terminologi adalah : “menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari”.[5]
     Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbali ,jual beli Salam adalah Akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad”.
         Menurut Ulama’ Malikiyah ,jual beli salam adalah “Suatu akad jual beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”.
         Tujuan utama jual-beli Salam adalah saling membantu dan menguntungkan kedua belah pihak
B.     Dasar Hukum
Jual beli as-Salam ini dibenarkan dalam islam, hal ini berdasarkan :
·         Firman Allah SWT
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya”(Al-Baqarah:282)
·         Sabda Rasulullah SAW
“Siapa saja yang melakukan jual beli Salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu.”(HR.Bukhari dan Muslim)
C.    Rukun dan Syarat
       Menurut Ulama Hanafiah bahwa rukun jual beli Salam hanya Ijab dan Qabul saja.
       Menurut Jumhur ulama rukun jual beli salam, antara lain:[6]
1.      Orang yang berakad :baligh dan berakal
2.      Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya dan harganya
3.      Ijab dan qabul.
Syarat-syaratnya:
1.      Terkait dengan modal/harga, harus jelas dan terukur berapa harga barangnya, berapa uang mukanya dan berapa lama sampai pembayaran terakhirnya
2.      Terkait dengan barang (obyek) as Salam, harus jelas jenis, ciri-cirinya, kualitas dan kuantitasnya
3.      Terkait lafal yang digunakan dalam jual beli pesanan (indent) adalah lafal as-Salam, As-Salaf, lafal alba’i (Hanafiah, malikiyah dan Hanabilah), sedangkan yang dipergunakan oleh Syafi’iyah adalah lafal as-Salam dan as-Salaf saja, al ba’i tidak boleh dipergunakan karena barang yang akan dijual belum kelihatan pada saat akad.
     Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan Hanbaliah jual beli pesanan, barangnya harus diserahkan kemudian sesuai waktu yang disepakati bersama. Namun menurut ulama Syafi’iyah barangnya dapat diserahkan pada saat akad terjadi,, untuk memperkecil kemungkinan terjadi penipuan.
     Mengenai tenggang waktu penyerahan barang, ulama Hanafiah dan Hanabilah mengatakan satu bulan. Sedangkan ulama Malikiyah memberi tenggang waktu setengah bulan. Menurut wahbah az Zuhaili, bahwa tenggang waktu penyerahan barang itu sangat bergantung kepada keadaan barang yang dipesan dan sebaliknya diserahkan kepada kesepakatan kedua belah pihak yang berakad dan tradisi yang berlaku pada suatu daerah (negara).
     Menurut Fuqaha sekiranya barang yang dipesan telah diterima kemudian terdapat cacat pada barang itu atau tidak sesuai dengan sifat-sifat, ciri-ciri, kualitas atau kuantitas barang yang dipesan maka pihak pemesan (konsumen) boleh menyatakan apakah ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli pesanan ini tidak ada hak khiyar. Pihak konsumen boleh meminta ganti rugi, meminta diganti sesuai pesanan yang biasanya dicantumkan dalam suatu perjanjian.
Dengan demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua hal:
1.    Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2.    Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu yang telah ditentukan dalam majelis akad
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan, “Zaid adalah seorang yang menyerahkan seribu dinar kepada Ali untuk menyerahkan lima ton beras.”
Pembeli yang diungkapkan dengan nama “Zaid” dinamakan “al-muslim”, “al-muslif”, atau “rabb as-salam”. Penjual yang diungkapkan dengan nama “Ali” dinamakan “al-muslam 'ilaihi” atau “al-muslaf 'ilaihi”. Nilai pembayaran kontan dimuka yang diungkapkan dengan “seribu dinar” dinamakan “modal as-salam” (ra`sumal as-salam). Barang yang dipesan, yang diungkapkan dengan “beras”, dinamakan “al-muslam fihi” atau “dain as-salam” (utang as-salam)

3.KREDIT
A.    Pengertian
 Kredit dalam bahasa arab disebut تقسيط dalam pengertian bahasa adalah bagian, jatah atau membagi-bagi. Adapun pengertian jual beli kredit secara istilah adalah menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan.
Maksud kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam.[7] Misalnya seseorang membeli mobil ke sebuah Dealer dengan uang muka 10 persen dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar satu kali dalam sebulan.
Sistem ini mulai diminati banyak kalangan, karena rata-rata manusia itu kalangan menengah ke bawah, yang mana kadang-kadang mereka terdesak untuk membeli barang tertentu yang tidak bisa dia beli dengan kontan, maka kredit adalah pilihan yang mungkin dirasa tepat.
B.     Hukum Jual beli kredit
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini menjadi dua pendapat, yaitu :
1. Jual beli kredit di haramkan
Diantara yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ adalah Imam Al Albani ,Syaikh Salim Al Hilali. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut :
Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.”(HR. Turmudli, Nasa’i, Amad, Ibnu Hibban)
Dalam riwayat lainnya dengan lafadl : “Barang siapa yang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan terjerumus pada riba.”(HR. Abu Dawud, Hakim)
Tafsir dari larangan Rosululloh “Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”
2. Jual beli kredit diperbolehkan
Adapun pendapat yang kedua mengatakan bahwa jual beli kredit diperbolehkan, diantara yang berpendapat demikian dikalangan para ulama’ adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Al Jibrin dan lainnya.
Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut:
Pertama :
Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.
·         Firman Alloh Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”(QS. Al Baqoroh : 272)
 “Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Rosululloh membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besi beliau kepada orang tersebut sebagai gadai (HR. Bukhori Muslim )
Kedua :
Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan pembayaran atau karena penyicilan.
·         Firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”(QS. An Nisa’ : 29)
C.    Adab dalam jual beli kredit
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan tatkala seseorang itu melakukan jual beli sistem kredit, yaitu :


a.      Bagi penjual
1)      Tidak memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap kredit dan sejenisnya dengan melipat gandakan keuntungan.
2)      Bisa memahami keadaan pembeli secara kredit. Terkadang seseorang membeli secara kredit karena memang dalam kedaaan kepepet, sangat membutuhkan barang tersebut padahal dia tidak memiliki harga tunai. Maka dalam kondisi saat ini si penjual harus bisa memahaminya.
b.      Bagi pembeli
1)      Tidak nekad melakukan pembelian secara kredit kecuali bila bertekad kuat menyelesaikan cicilanya karena memiliki kelebihan penghasilan dari kebutuhan primernya.
2)      Tidak menggampangkan urusan jual beli kredit. Karena fenomena yang berkembang bahwasannya ada sebagian orang yang membeli secara kredit barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan
3)      Mencatat kredit dan ada saksi
4)      Melunasi angsuran kredit dengan baik serta tidak mengulur-ulurnya.
Rosululloh bersabda :
“Orang yang terbaik adalah orang yang terbaik cara melunasi hutangnya.”(HR. Bukhori )




[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 103.
[2] Ibid, 104.
[3] Ibid, 114.
[4] Ibid, 115-116.
[5] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), 143.
[6] Ibid, 145-146.
[7] H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT Raja Grafindo, 2008), 299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar