KHIYAR, SALAM DAN KREDIT
1. KHIYAR
A. Pengertian
Ketika
melakukan sebuah akad atau perjanjian terkadang perjanjian itu diselimuti
beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan
perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada
saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.
Secara terminologis dalam ilmu fiqih
artinya : hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih
antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau
membatalkannya.
Khiyar menurut ulama’ fiqih adalah
suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya,
yakni menjadikan atau membatalkan jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat,
‘aib atau ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.[1]
B. Macam-macam Khiyar
1. Khiyar Syarat
Yaitu
kedua orang yang sedang melakukan jual beli mengadakan kesepakatan menentukan
syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu
tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar
tersebut cukup lama.
Rasulullah
Saw bersabda, “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang dibeli selama 3 hari 3
malam”. (HR Ibnu Majah, Al-Hakam, Baihaqi)
Menurut Ulama Fiqih adalah Suatu
keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad
atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan
akad selama waktu yang ditentukan.[2]
Misalnya, seorang pembeli berkata,”Saya
beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama
sehari atau tiga hari.” Khiyar disyariatkan untuk menghilangkan unsur kelalaian
atau penipuan bagi pihak yang akad.
2. Khiyar Majlis
Menurut ulama’ fiqih adalah Hak bagi semua pihak
yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada ditempat akad
dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya
saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.
Pandangan Ulama’ tentang khiyar Majlis
a. Ulama’ Hanafiah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat
menjadi lazim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan
khiyar sebab Allah SWT menyuruh untuk menepati janji sedangkan khiyar
menghilangkan keharusan tersebut. Maksud dari berpisah adalah berpisah dari
segi ucapan bukan badan, bagi yang menyatakan ijab, ia boleh menarik ucapannya
sebelum dijawab qabul, sedangkan bagi yang lainnya(penerima) boleh memilih
apakah ia akan menerimanya di tempat tersebut atau menolaknya.[3]
b. Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
Golongan
ini berpendapat bahwa jka pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad
tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih
berada ditempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki
kesempatan untuk membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. Batasan dari
kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam bermuamalah.
Rasulullah
Saw bersabda, “Penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
3. Khiyar ‘Aib (cacat)
Yaitu
jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak
mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli
berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa
seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya,
didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka
budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad
& Abu Dawud)
Menurut
Ulama’ fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki
hak untuk membatalkan akad atau menjadikan ketika ditemukan aib (kecacatan)
dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui
pemiliknya waktu akad.[4]
Penyebab khiyar “aib adalah adanya cacat dan
barang yang diperjual belikan atau harga kurang nilainya atau tidak sesuai
dengan maksud dan yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
Tujuan
khiyar adalah agar jual beli tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
2. SALAM
A. Pengertian Salam
Jual
beli pesanan (indent) dalam fiqih islam disebut As-Salam bahasa penduduk Hijaz atau As-Salaf bahasa penduduk
Irak secara terminologi adalah : “menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas
dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudian hari”.[5]
Menurut
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbali ,jual beli Salam adalah Akad yang disepakati
dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majlis akad”.
Menurut
Ulama’ Malikiyah ,jual beli salam adalah “Suatu akad jual beli yang modalnya
dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”.
Tujuan
utama jual-beli Salam adalah saling membantu dan menguntungkan kedua belah
pihak
B. Dasar Hukum
Jual beli as-Salam ini dibenarkan dalam islam, hal
ini berdasarkan :
·
Firman Allah SWT
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah kamu menuliskannya”(Al-Baqarah:282)
·
Sabda Rasulullah SAW
“Siapa saja yang melakukan jual beli Salam
(salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu
dan waktu tertentu.”(HR.Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat
Menurut
Ulama Hanafiah bahwa rukun jual beli Salam hanya Ijab dan Qabul saja.
Menurut
Jumhur ulama rukun jual beli salam, antara lain:[6]
1.
Orang yang berakad :baligh dan berakal
2.
Barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya dan harganya
3.
Ijab dan qabul.
Syarat-syaratnya:
1.
Terkait dengan modal/harga, harus jelas dan terukur berapa harga barangnya,
berapa uang mukanya dan berapa lama sampai pembayaran terakhirnya
2.
Terkait dengan barang (obyek) as Salam, harus jelas jenis, ciri-cirinya, kualitas
dan kuantitasnya
3.
Terkait lafal yang digunakan dalam jual beli pesanan (indent) adalah lafal
as-Salam, As-Salaf, lafal alba’i (Hanafiah, malikiyah dan Hanabilah), sedangkan
yang dipergunakan oleh Syafi’iyah adalah lafal as-Salam dan as-Salaf saja, al
ba’i tidak boleh dipergunakan karena barang yang akan dijual belum kelihatan
pada saat akad.
Menurut
Ulama Hanafiah, Malikiyah dan Hanbaliah jual beli pesanan, barangnya harus
diserahkan kemudian sesuai waktu yang disepakati bersama. Namun menurut ulama
Syafi’iyah barangnya dapat diserahkan pada saat akad terjadi,, untuk
memperkecil kemungkinan terjadi penipuan.
Mengenai
tenggang waktu penyerahan barang, ulama Hanafiah dan Hanabilah mengatakan satu
bulan. Sedangkan ulama Malikiyah memberi tenggang waktu setengah bulan. Menurut
wahbah az Zuhaili, bahwa tenggang waktu penyerahan barang itu sangat bergantung
kepada keadaan barang yang dipesan dan sebaliknya diserahkan kepada kesepakatan
kedua belah pihak yang berakad dan tradisi yang berlaku pada suatu daerah
(negara).
Menurut
Fuqaha sekiranya barang yang dipesan telah diterima kemudian terdapat cacat
pada barang itu atau tidak sesuai dengan sifat-sifat, ciri-ciri, kualitas atau
kuantitas barang yang dipesan maka pihak pemesan (konsumen) boleh menyatakan apakah
ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli pesanan ini tidak ada hak
khiyar. Pihak konsumen boleh meminta ganti rugi, meminta diganti sesuai pesanan
yang biasanya dicantumkan dalam suatu perjanjian.
Dengan
demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki
kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan
dua hal:
1.
Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari
sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2.
Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu
yang telah ditentukan dalam majelis akad
Para ulama
sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan, “Zaid
adalah seorang yang menyerahkan seribu dinar kepada Ali untuk menyerahkan lima
ton beras.”
Pembeli yang
diungkapkan dengan nama “Zaid” dinamakan “al-muslim”, “al-muslif”,
atau “rabb as-salam”. Penjual yang diungkapkan dengan nama “Ali”
dinamakan “al-muslam 'ilaihi” atau “al-muslaf 'ilaihi”. Nilai pembayaran
kontan dimuka yang diungkapkan dengan “seribu dinar” dinamakan “modal as-salam”
(ra`sumal as-salam). Barang yang dipesan, yang diungkapkan dengan
“beras”, dinamakan “al-muslam fihi” atau “dain as-salam” (utang as-salam)
3.KREDIT
A. Pengertian
Kredit dalam bahasa arab disebut تقسيط dalam pengertian bahasa adalah
bagian, jatah atau membagi-bagi.
Adapun pengertian jual beli kredit secara istilah adalah menjual sesuatu
dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu
dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan.
Maksud
kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu jual beli
maupun dalam pinjam meminjam.[7]
Misalnya seseorang membeli mobil ke sebuah Dealer dengan uang muka 10 persen
dan sisanya dibayar secara berangsur-angsur selama sekian tahun dan dibayar
satu kali dalam sebulan.
Sistem ini mulai diminati banyak
kalangan, karena rata-rata manusia itu kalangan menengah ke bawah, yang mana
kadang-kadang mereka terdesak untuk membeli barang tertentu yang tidak bisa dia
beli dengan kontan, maka kredit adalah pilihan yang mungkin dirasa tepat.
B.
Hukum Jual
beli kredit
Para ulama’
berbeda pendapat mengenai hukum jual beli kredit yang ada pada zaman ini
menjadi dua pendapat, yaitu :
1. Jual beli
kredit di haramkan
Diantara
yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ adalah Imam Al Albani ,Syaikh Salim Al Hilali. Mereka berhujjah dengan beberapa
dalil berikut :
Dari Abu
Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli
dalam satu transaksi jual beli.”(HR. Turmudli, Nasa’i, Amad, Ibnu
Hibban)
Dalam riwayat lainnya dengan lafadl
: “Barang siapa yang melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi
jual beli, maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan
terjerumus pada riba.”(HR. Abu Dawud, Hakim)
Tafsir dari
larangan Rosululloh “Dua transaksi jual beli dalam satu transaksi” adalah ucapan seorang penjual atau
pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini sedangkan kalau kredit maka
harganya segitu.”
2. Jual beli
kredit diperbolehkan
Adapun
pendapat yang kedua mengatakan bahwa jual beli kredit diperbolehkan, diantara
yang berpendapat demikian dikalangan para ulama’ adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin,
Syaikh Al Jibrin dan lainnya.
Mereka
berhujjah dengan beberapa dalil berikut:
Pertama :
Dalil-dalil
yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.
·
Firman Alloh
Ta’ala :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”(QS. Al Baqoroh : 272)
“Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya
Rosululloh membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda.
Beliau memberikan baju besi beliau kepada orang
tersebut sebagai gadai (HR. Bukhori Muslim )
Kedua :
Dalil-dalil
yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan
pembayaran atau karena penyicilan.
·
Firman Alloh
Ta’ala :
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu.”(QS. An Nisa’ : 29)
C.
Adab dalam
jual beli kredit
Ada beberapa
adab yang harus diperhatikan tatkala seseorang itu melakukan jual beli sistem
kredit, yaitu :
a.
Bagi penjual
1)
Tidak memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap kredit dan sejenisnya
dengan melipat gandakan keuntungan.
2)
Bisa memahami keadaan pembeli secara kredit. Terkadang
seseorang membeli secara kredit karena memang dalam kedaaan kepepet, sangat
membutuhkan barang tersebut padahal dia tidak memiliki harga tunai. Maka dalam
kondisi saat ini si penjual harus bisa memahaminya.
b.
Bagi pembeli
1)
Tidak nekad melakukan pembelian secara kredit kecuali bila bertekad kuat
menyelesaikan cicilanya karena memiliki kelebihan penghasilan dari kebutuhan
primernya.
2)
Tidak menggampangkan urusan jual beli kredit. Karena
fenomena yang berkembang bahwasannya ada sebagian orang yang membeli secara
kredit barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan
3)
Mencatat kredit dan ada saksi
4)
Melunasi angsuran kredit dengan baik serta tidak mengulur-ulurnya.
Rosululloh
bersabda :
“Orang yang
terbaik adalah orang yang terbaik cara melunasi hutangnya.”(HR. Bukhori )
[1] Rachmat
Syafe’i, Fiqih Mu’amalah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), 103.
[2] Ibid,
104.
[3] Ibid,
114.
[4] Ibid,
115-116.
[5] M. Ali
Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), 143.
[6] Ibid, 145-146.
[7] H. Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT
Raja Grafindo, 2008), 299.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar